BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Batuan asal atau batuan induk baik berupa batuan
beku, batuan sedimen maupun batuan metamorf dan telah mengalami perubahan
mineralogi, tekstur serta struktur sebagai akibat adanya perubahan temperatur
(di atas proses diagenesa dan di bawah titik lebur; 200-350oC < T <
650-800oC) dan tekanan yang tinggi (1 atm < P < 10.000 atm) disebut
batuan metamorf. Proses metamorfisme tersebut terjadi di dalam bumi pada
kedalaman lebih kurang 3 km – 20 km. Winkler (1989) menyatakan bahwasannya
proses-proses metamorfisme itu mengubah mineral-mineral suatu batuan pada fase
padat karena pengaruh atau respons terhadap kondisi fisika dan kimia di dalam
kerak bumi yang berbeda dengan kondisi sebelumnya. Proses-proses tersebut tidak
termasuk pelapukan dan diagenesa.
Batuan asal atau batuan induk baik berupa batuan
beku, batuan sedimen maupun batuan metamorf dan telah mengalami perubahan
mineralogi, tekstur serta struktur sebagai akibat adanya perubahan temperatur
(di atas proses diagenesa dan di bawah titik lebur; 200-350oC < T <
650-800oC) dan tekanan yang tinggi (1 atm < P < 10.000 atm) disebut
batuan metamorf. Proses metamorfisme tersebut terjadi di dalam bumi pada
kedalaman lebih kurang 3 km – 20 km. Winkler (1989) menyatakan bahwasannya proses-proses
metamorfisme itu mengubah mineral-mineral suatu batuan pada fase padat karena
pengaruh atau respons terhadap kondisi fisika dan kimia di dalam kerak bumi
yang berbeda dengan kondisi sebelumnya. Proses-proses tersebut tidak termasuk
pelapukan dan diagenesa.
Batuan metamorf
(atau batuan malihan) adalah salah satu kelompok utama
batuan yang
merupakan hasil
transformasi atau ubahan
dari suatu tipe batuan yang telah ada sebelumnya,
protolith, oleh suatu
proses yang disebut
metamorfisme, yang berarti
"perubahan bentuk". Protolith yang dikenai panas (lebih besar dari
150 °
Celsius)
dan
tekanan
ekstrem akan mengalami perubahan fisika dan/atau kimia yang besar. Protolith
dapat berupa
batuan sedimen,
batuan beku,
atau batuan metamorf lain yang lebih tua. Beberapa contoh batuan metamorf
adalah
gneis,
batu sabak,
batu marmer,
dan
skist.
Batuan metamorf menyusun sebagian besar dari
kerak Bumi dan digolongkan
berdasarkan tekstur dan dari susunan kimia dan
mineral
(
fasies metamorf) Mereka
terbentuk jauh dibawah permukaan bumi oleh tegasan yang besar dari batuan
diatasnya serta tekanan dan suhu tinggi. Mereka juga terbentuk oleh
intrusi batu lebur,
disebut
magma,
ke dalam batuan padat dan terbentuk terutama pada kontak antara magma dan
batuan yang bersuhu tinggi.
Penelitian batuan metamorf (saat ini tersingkap di permukaan
bumi akibat
erosi
dan pengangkatan) memberikan kita informasi yang sangat berharga mengenai suhu
dan tekanan yang terjadi jauh di dalam permukaan bumi.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka diperoleh
rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana cara
mengenali batuan metamorf?
2.
Bagaimana proses
pembentukan batuan metamorf?
3.
Bagaimana
struktur batuan metamorf?
4.
Bagaimana
tekstur batuan metamorf?
5.
Bagaimana
komposisi batuan metamorf?
1.3
Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1.
Dapat mengenali
batuan metamorf.
2.
Dapat mengetahui
bagaimana proses terbentuknya batuan metamorf.
3.
Dapat mengetahui
struktur batuan metamorf.
4.
Dapat mengetahui
tekstur batuan metamorf.
5.
Dapat mengetahui
komposisi batuan metamorf.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengenalan Batuan Metamorf
Pengenalan
batuan metamorf dapat dilakukan melalui kenampakan-kenampakan yang jelas pada
singkapan dari batuan metamorf yang merupakan akibat dari tekanan-tekanan yang
tidak sama. Batuan-batuan tersebut mungkin mengalami aliran plastis, peretakan
dan pembutiran atau rekristalisasi. Beberapa tekstur dan struktur di dalam
batuan metamorf mungkin diturunkan dari batuan pre-metamorfik (seperti: cross bedding),
tetapi kebanyakan hal ini terhapus selama metamorfisme. Penerapan dari tekanan
yang tidak sama, khususnya jika disertai oleh pembentukan mineral baru, sering
menyebabkan kenampakan penjajaran dari tekstur dan struktur. Jika planar
disebut foliasi. Seandainya struktur planar tersebut disusun oleh
lapisan-lapisan yang menyebar atau melensa dari mineral-mineral yang berbeda
tekstur, misal: lapisan yang kaya akan mineral granular (seperti: felspar dan
kuarsa) berselang-seling dengan lapisan-lapisan kaya mineral-mineral tabular
atau prismatik (seperti: feromagnesium), tekstur tersebut menunjukkan sebagai
gneis. Seandainya foliasi tersebut disebabkan oleh penyusunan yang sejajar dari
mineral-mineral pipih berbutir sedang-kasar (umumnya mika atau klorit) disebut
skistosity. Pecahan batuan ini biasanya sejajar dengan skistosity menghasilkan
belahan batuan yang berkembang kurang baik.
Pengenalan
batuan metamorf tidak jauh berbeda dengan jenis batuan lain yaitu didasarkan
pada warna, tekstur, struktur dan komposisinya. Namun untuk batuan metamorf ini
mempunyai kekhasan dalam penentuannya yaitu pertama-tama dilakukan tinjauan
apakah termasuk dalam struktur foliasi (ada penjajaran mineral) atau non
foliasi (tanpa penjajaran mineral) (Tabel 3.12). Pada metamorfisme tingkat
tinggi akan berkembang struktur migmatit (Gambar 3.12). Setelah penentuan
struktur diketahui, maka penamaan batuan metamorf baik yang berstruktur foliasi
maupun berstruktur non foliasi dapat dilakukan. Misal: struktur skistose nama
batuannya sekis; gneisik untuk genis; slatycleavage untuk slate/ sabak.
Sedangkan non foliasi, misal: struktur hornfelsik nama batuannya hornfels;
liniasi untuk asbes.
Variasi yang luas dari tekstur, struktur
dan komposisi dalam batuan metamorf, membuatnya sulit untuk mendaftar satu atau
lebih dari beberapa kenampakkan yang diduga hasil dari proses metamorfisme.
Oleh sebab itu hal terbaik untuk mempertimbangkan secara menerus seperti
kemungkinan banyaknya perbedaan kenampakan-kenampakan yang ada.
Tabel Diagram alir untuk identifikasi batuan
metamorf secara umum (Gillen, 1982).
Gambar: Berbagai
struktur pada migmatit dengan leukosom (warna terang) (Compton, 1985).
2.2 Proses Terbentuknya Batuan Metamorf
Batuan
beku dan sedimen dibentuk akibat interaksi dari proses kimia, fisika, biologi
dan kondisi-kondisinya di dalam bumi serta di permukaannya. Bumi merupakan
sistim yang dinamis, sehingga pada saat pembentukannya, batuan-batuan mungkin
mengalami keadaan yang baru dari kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan perubahan
yang luas di dalam tekstur dan mineraloginya. Perubahan-perubahan tersebut
terjadi pada tekanan dan temperatur di atas diagenesa dan di bawah pelelehan,
maka akan menunjukkan sebagai proses metamorfisme.
Suatu
batuan mungkin mengalami beberapa perubahan lingkungan sesuai dengan waktu,
yang dapat menghasilkan batuan polimetamorfik. Sifat-sifat yang mendasar dari
perubahan metamorfik adalah batuan tersebut terjadi selama batuan berada dalam
kondisi padat. Perubahan komposisi di dalam batuan kurang berarti pada tahap
ini, perubahan tersebut adalah isokimia yang terdiri dari distribusi ulang
elemen-elemen lokal dan volatil diantara mineral-mineral yang sangat reaktif.
Pendekatan umum untuk mengambarkan batas antara diagenesa dan metamorfisme
adalah menentukan batas terbawah dari metamorfisme sebagai kenampakan pertama
dari mineral yang tidak terbentuk secara normal di dalam sedimen-sedimen
permukaan, seperti epidot dan muskovit. Walaupun hal ini dapat dihasilkan dalam
batas yang lebih basah. Sebagai contoh, metamorfisme shale yang menyebabkan
reaksi kaolinit dengan konstituen lain untuk menghasilkan muskovit.
Bagaimanapun juga, eksperimen-eksperimen telah menunjukkan bahwa reaksi ini
tidak menempati pada temperatur tertentu tetapi terjadi antara 200°C – 350°C yang
tergantung pada pH dan kandungan potasium dari material-material disekitarnya.
Mineral-mineral lain yang dipertimbangkan terbentuk pada awal metamorfisme
adalah laumonit, lawsonit, albit, paragonit atau piropilit. Masing-masing
terbentuk pada temperatur yang berbeda di bawah kondisi yang berbeda, tetapi
secara umum terjadi kira-kira pada 150°C atau dikehendaki lebih tinggi. Di
bawah permukaan, temperatur di sekitarnya 150°C disertai oleh tekanan
lithostatik kira-kira 500 bar.
Batas
atas metamorfisme diambil sebagai titik dimana kelihatan terjadi pelelehan
batuan. Di sini kita mempunyai satu variabel, sebagai variasi temperatur
pelelehan sebagai fungsi dari tipe batuan, tekanan lithostatik dan tekanan uap.
Satu kisaran dari 650°C – 800°C menutup sebagian besar kondisi tersebut. Batas
atas dari metamorfisme dapat ditentukan oleh kejadian dari batuan yang disebut
migmatit. Batuan ini menunjukkan kombinasi dari kenampakan tekstur, beberapa
darinya muncul menjadi batuan beku dan batuan metamorf yang lain.
Berdasarkan
tingkat malihannya, batuan metamorf dibagi menjadi dua yaitu (1) metamorfisme
tingkat rendah (low-grade metamorphism) dan (2) metamorfisme tingkat tinggi
(high-grade metamorphism) (Gambar 3.9). Pada batuan metamorf tingkat rendah
jejak kenampakan batuan asal masih bisa diamati dan penamaannya menggunakan
awalan meta (-sedimen, -beku), sedangkan pada batuan metamorf tingkat tinggi
jejak batuan asal sudah tidak nampak, malihan tertinggi membentuk migmatit
(batuan yang sebagian bertekstur malihan dan sebagian lagi bertekstur beku atau
igneous).
Gambar: memperlihatkan batuan asal yang mengalami metamorfisme tingkat rendah –
medium dan tingkat tinggi (O’Dunn dan Sill, 1986).
Pembentukan
batuan metamorf selain didasarkan pada tingkat malihannya juga didasarkan pada
penyebabnya. Berdasarkan penyebabnya batuan metamorf dibagi menjadi tiga yaitu
(1) Metamorfisme kontak/ termal, pengaruh T dominan; (2) Metamorfisme dinamo/
kataklastik/dislokasi/kinematik, pengaruh P dominan; dan (3) Metamorfisme
regional, terpengaruh P & T, serta daerah luas. Metamorfisme kontak terjadi
pada zona kontak atau sentuhan langsung dengan tubuh magma (intrusi) dengan
lebar antara 2–3 km (Gambar 3.10). Metamorfisme dislokasi terjadi pada daerah
sesar besar/ utama yaitu pada lokasi dimana masa batuan tersebut mengalami
penggerusan. Sedangkan metamorfisme regional terjadi pada kulit bumi bagian
dalam dan lebih intensif bilamana diikuti juga oleh orogenesa (Gambar 3.11). Penyebaran
tubuh batuan metamorf ini luas sekali mencapai ribuan kilometer.
Gambar: memperlihatkan kontak aureole disekitar intrusi batuan beku (Gillen,
1982).
Gambar: penampang
yang memperlihatkan lokasi batuan metamorf (Gillen, 1982).
2.3 Struktur Batuan Metamorf
Secara umum struktur yang dijumpai di
dalam batuan metamorf dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu struktur foliasi
dan struktur non foliasi. Struktur foliasi ditunjukkan oleh adanya penjajaran
mineral-mineral penyusun batuan metamorf, sedang struktur non foliasi tidak
memperlihatkan adanya penjajaran mineral-mineral penyusun batuan metamorf.
Struktur Foliasi
a.
Struktur
Skistose: struktur yang memperlihatkan penjajaran mineral pipih (biotit,
muskovit, felspar) lebih banyak dibanding mineral butiran.
b.
Struktur
Gneisik: struktur yang memperlihatkan penjajaran mineral granular, jumlah
mineral granular relatif lebih banyak dibanding mineral pipih.
c.
Struktur
Slatycleavage: sama dengan struktur skistose, kesan kesejajaran mineraloginya
sangat halus (dalam mineral lempung).
d.
Struktur
Phylitic: sama dengan struktur slatycleavage, hanya mineral dan kesejajarannya
sudah mulai agak kasar.
Struktur Non
Foliasi
a.
Struktur
Hornfelsik: struktur yang memperlihatkan butiran-butiran mineral relatif
seragam.
b.
Struktur
Kataklastik: struktur yang memperlihatkan adanya penghancuran terhadap batuan
asal.
c.
Struktur
Milonitik: struktur yang memperlihatkan liniasi oleh adanya orientasi mineral
yang berbentuk lentikuler dan butiran mineralnya halus.
d.
Struktur
Pilonitik: struktur yang memperlihatkan liniasi dari belahan permukaan yang
berbentuk paralel dan butiran mineralnya lebih kasar dibanding struktur
milonitik, malah mendekati tipe struktur filit.
e.
Struktur Flaser:
sama struktur kataklastik, namun struktur batuan asal berbentuk lensa yang
tertanam pada masa dasar milonit.
f.
Struktur Augen: sama struktur flaser, hanya
lensa-lensanya terdiri dari butir-butir felspar dalam masa dasar yang lebih
halus.
g.
Struktur
Granulose: sama dengan hornfelsik, hanya butirannya mempunyai ukuran beragam.
h.
Struktur
Liniasi: struktur yang memperlihatkan adanya mineral yang berbentuk jarus atau
fibrous.
2.4 Tekstur Batuan Metamorf
Tekstur yang berkembang selama proses
metamorfisme secara tipikal penamaanya mengikuti kata-kata yang mempunyai
akhiran -blastik. Contohnya, batuan metamorf yang berkomposisi kristal-kristal
berukuran seragam disebut dengan granoblastik. Secara umum satu atau lebih
mineral yang hadir berbeda lebih besar dari rata-rata; kristal yang lebih besar
tersebut dinamakan porphiroblast. Porphiroblast, dalam pemeriksaan sekilas, mungkin
membingungkan dengan fenokris (pada batuan beku), tetapi biasanya mereka dapat
dibedakan dari sifat mineraloginya dan foliasi alami yang umum dari matrik.
Pengujian mikroskopik porphiroblast sering menampakkan butiran-butiran dari
material matrik, dalam hal ini disebut poikiloblast. Poikiloblast biasanya
dianggap terbentuk oleh pertumbuhan kristal yang lebih besar disekeliling
sisa-sisa mineral terdahulu, tetapi kemungkinan poikiloblast dapat diakibatkan
dengan cara pertumbuhan sederhana pada laju yang lebih cepat daripada
mineral-mineral matriknya, dan yang melingkupinya. Termasuk material yang
menunjukkan (karena bentuknya, orientasi atau penyebarannya) arah kenampakkan
mula-mula dalam batuan (seperti skistosity atau perlapisan asal); dalam hal ini
porphiroblast atau poikiloblast dikatakan mempunyai tekstur helicitik.
Kadangkala batuan metamorf terdiri dari kumpulan butiran-butiran yang berbentuk
melensa atau elipsoida; bentuk dari kumpulan-kumpulan ini disebut augen (German
untuk “mata”), dan umumnya hasil dari kataklastik (penghancuran, pembutiran,
dan rotasi). Sisa kumpulan ini dihasilkan dalam butiran matrik. Istilah umum
untuk agregat adalah porphyroklast.

Gambar:
Tekstur batuan metamorf (Compton, 1985).
1.
Tekstur
Kristaloblastik
Tekstur
batuan metamorf yang dicirikan dengan tekstur batuan asal sudah tidak kelihatan
lagi atau memperlihatkan kenampakan yang sama sekali baru. Dalam penamaannya
menggunakan akhiran kata –blastik. Berbagai kenampakan tekstur batuan metamorf
dapat dilihat pada Gambar 3.13.
a.
Tekstur
Porfiroblastik: sama dengan tekstur porfiritik (batuan beku), hanya kristal
besarnya disebut porfiroblast.
b.
Tekstur
Granoblastik: tekstur yang memperlihatkan butir-butir mineral seragam.
c.
Tekstur
Lepidoblastik: tekstur yang memperlihatkan susunan mineral saling sejajar dan
berarah dengan bentuk mineral pipih.
d.
Tekstur
Nematoblastik: tekstur yang memperlihatkan adanya mineral-mineral prismatik
yang sejajar dan terarah.
e.
Tekstur
Idioblastik: tekstur yang memperlihatkan mineral-mineral berbentuk euhedral.
f.
Tekstur
Xenoblastik: sama dengan tekstur idoblastik, namun mineralnya berbentuk
anhedral.
2.
Tekstur
Palimpset
Tekstur
batuan metamorf yang dicirikan dengan tekstur sisa dari batuan asal masih bisa
diamati. Dalam penamaannya menggunakan awalan kata–blasto.
a.
Tekstur
Blastoporfiritik: tekstur yang memperlihatkan batuan asal yang porfiritik.
b.
Tekstur
Blastopsefit: tekstur yang memperlihatkan batuan asal sedimen yang ukuran
butirnya lebih besar dari pasir.
c.
Tekstur
Blastopsamit: sama dengan tekstur blastopsefit, hanya ukuran butirnya sama
dengan pasir.
d.
Tekstur
Blastopellit: tekstur yang memperlihatkan batuan asal sedimen yang ukuran
butirnya lempung.
e.
2.5
Komposisi Batuan Metamorf
Pertumbuhan dari mineral-mineral baru atau
rekristalisasi dari mineral yang ada sebelumnya sebagai akibat perubahan
tekanan dan atau temperatur menghasilkan pembentukan kristal lain yang baik,
sedang atau perkembangan sisi muka yang jelek; kristal ini dinamakan
idioblastik, hypidioblastik, atau xenoblastik. Secara umum batuan metamorf
disusun oleh mineral-mineral tertentu (Tabel 3.13), namun secara khusus mineral
penyusun batuan metamorf dikelompokkan menjadi dua yaitu (1) mineral stress dan
(2) mineral anti stress. Mineral stress adalah mineral yang stabil dalam
kondisi tekanan, dapat berbentuk pipih/tabular, prismatik dan tumbuh tegak
lurus terhadap arah gaya/stress meliputi: mika, tremolit-aktinolit, hornblende,
serpentin, silimanit, kianit, seolit, glaukopan, klorit, epidot, staurolit dan
antolit. Sedang mineral anti stress adalah mineral yang terbentuk dalam kondisi
tekanan, biasanya berbentuk equidimensional, meliputi: kuarsa, felspar, garnet,
kalsit dan kordierit.
Tabel
3.13 Ciri-ciri fisik mineral-mineral penyusun batuan metamorf (Gillen, 1982)
Setelah kita menentukan batuan asal mula metamorf,
kita harus menamakan batuan tersebut. Sayangnya prosedur penamaan batuan
metamorf tidak sistematik seperti pada batuan beku dan sedimen. Nama-nama
batuan metamorf terutama didasarkan pada kenampakan tekstur dan struktur (Tabel
3.14). Nama yang umum sering dimodifikasi oleh awalan yang menunjukkan
kenampakan nyata atau aspek penting dari tekstur (contoh gneis augen), satu
atau lebih mineral yang ada (contoh skis klorit), atau nama dari batuan beku
yang mempunyai komposisi sama (contoh gneis granit). Beberapa nama batuan yang
didasarkan pada dominasi mineral (contoh metakuarsit) atau berhubungan dengan
facies metamorfik yang dipunyai batuan (contoh granulit).
Metamorfisme regional dari batulumpur melibatkan
perubahan keduanya baik tekanan dan temperatur secara awal menghasilkan
rekristalisasi dan modifikasi dari mineral lempung yang ada. Ukuran butiran
secara mikroskopik tetap, tetapi arah yang baru dari orientasi mungkin dapat
berkembang sebagai hasil dari gaya stres. Resultan batuan berbutir halus yang
mempunyai belahan batuan yang baik sekali dinamakan slate. Bilamana
metamorfisme berlanjut sering menghasilkan orientasi dari mineral-mineral pipih
pada batuan dan penambahan ukuran butir dari klorit dan mika. Hasil dari batuan
yang berbutir halus ini dinamakan phylit, sama seperti slate tetapi mempunyai
kilap sutera pada belahan permukaannya. Pengujian dengan menggunakan lensa
tangan secara teliti kadangkala memperlihatkan pecahan porpiroblast yang kecil
licin mencerminkan permukaan belahannya. Pada tingkat metamorfisme yang lebih
tinggi, kristal tampak tanpa lensa. Disini biasanya kita menjumpai
mineral-mineral yang pipih dan memanjang yang terorientasi kuat membentuk
skistosity yang menyolok. Batuan ini dinamakan skis, masih bisa dibelah menjadi
lembaran-lembaran. Umumnya berkembang porpiroblast; hal ini sering dapat
diidentikkan dengan sifat khas mineral metamorfik seperti garnet, staurolit,
atau kordierit. Masih pada metamorfisme tingkat tinggi disini skistosity
menjadi kurang jelas; batuan terdiri dari kumpulan butiran sedang sampai kasar
dari tekstur dan mineralogi yang berbeda menunjukkan tekstur gnessik dan
batuannya dinamakan gneis. Kumpulan yang terdiri dari lapisan yang relatif kaya
kuarsa dan feldspar, kemungkinan kumpulan tersebut terdiri dari mineral yang
mengandung feromagnesium (mika, piroksin, dan ampibol). Komposisi mineralogi
sering sama dengan batuan beku, tetapi tekstur gnessik biasanya menunjukkan
asal metamorfisme; dalam kumpulan yang cukup orientasi sering ada. Penambahan
metamorfisme dapat mengubah gneis menjadi migmatit. Dalam kasus ini, kumpulan
berwarna terang menyerupai batuan beku tertentu, dan perlapisan kaya
feromagnesium mempunyai aspek metamorfik tertentu.
Jenis batuan metamorf lain penamaannya hanya berdasarkan
pada komposisi mineral, seperti: Marmer disusun hampir semuanya dari kalsit
atau dolomit; secara tipikal bertekstur granoblastik. Kuarsit adalah batuan
metamorfik bertekstur granobastik dengan komposisi utama adalah kuarsa,
dibentuk oleh rekristalisasi dari batupasir atau chert/rijang.
Secara
umum jenis batuan metamorfik yang lain adalah sebagai berikut:
Amphibolit: Batuan yang berbutir sedang sampai kasar komposisi
utamanya adalah ampibol (biasanya hornblende) dan plagioklas.
Eclogit: Batuan yang berbutir sedang komposisi utama adalah
piroksin klino ompasit tanpa plagioklas felspar (sodium dan diopsit kaya
alumina) dan garnet kaya pyrop. Eclogit mempunyai komposisi kimia seperti
basal, tetapi mengandung fase yang lebih berat. Beberapa eclogit berasal dari
batuan beku.
Granulit: Batuan yang berbutir merata terdiri dari mineral
(terutama kuarsa, felspar, sedikit garnet dan piroksin) mempunyai tekstur
granoblastik. Perkembangan struktur gnessiknya lemah mungkin terdiri dari
lensa-lensa datar kuarsa dan/atau felspar.
Hornfels: Berbutir halus, batuan metamorfisme thermal
terdiri dari butiran-butiran yang equidimensional dalam orientasi acak.
Beberapa porphiroblast atau sisa fenokris mungkin ada. Butiran-butiran kasar
yang sama disebut granofels.
Milonit: Cerat berbutir halus atau kumpulan batuan yang
dihasilkan oleh pembutiran atau aliran dari batuan yang lebih kasar. Batuan
mungkin menjadi protomilonit, milonit, atau ultramilomit, tergantung atas
jumlah dari fragmen yang tersisa. Bilamana batuan mempunyai skistosity dengan
kilap permukaan sutera, rekristralisasi mika, batuannya disebut philonit.
Serpentinit: Batuan yang hampir seluruhnya terdiri dari
mineral-mineral dari kelompok serpentin. Mineral asesori meliputi klorit, talk,
dan karbonat. Serpentinit dihasilkan dari alterasi mineral silikat
feromagnesium yang terlebih dahulu ada, seperti olivin dan piroksen.
Skarn: Marmer yang tidak bersih/kotor yang mengandung
kristal dari mineral kapur-silikat seperti garnet, epidot, dan sebagainya.
Skarn terjadi karena perubahan komposisi batuan penutup (country rock) pada
kontak batuan beku.
Tabel.
Klasifikasi Batuan Metamorf (O’Dunn dan Sill, 1986).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1.
Pengenalan
batuan metamorf tidak jauh berbeda dengan jenis batuan lain yaitu didasarkan
pada warna, tekstur, struktur dan komposisinya.
2.
Pembentukan
batuan metamorf selain didasarkan pada tingkat malihannya juga didasarkan pada
penyebabnya.
3.
Secara umum struktur
yang dijumpai di dalam batuan metamorf dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu
struktur foliasi dan struktur non foliasi.
4.
Tekstur yang
berkembang selama proses metamorfisme secara tipikal penamaanya mengikuti
kata-kata yang mempunyai akhiran -blastik. Contohnya, batuan metamorf yang
berkomposisi kristal-kristal berukuran seragam disebut dengan granoblastik.
3.2 Saran
Untuk
para pembaca dan umumnya diharapkan makalah ini dapat bermanfaat serta dapat
memberikan informasi dengan baik. Adapun mengenai batuan metamorf untuk lebih
jelasnya dapat dilakukan observasi lapangan sehingga kita dapat melihat secara
langsung bentuk dari batuan metamorf.